ada yang mengetahui bagaimana asal usul kujang seperti apa lengkapnya???
(asa piraku we urang sunda teu apal-apal acan kujang mah, alabatan ti urang kuno... hhahaha)
sekarang sayah mau memposting seudikit materi tentang kujang,,,
bagaimana kujang itu dibuat, dan apa saja unsur-unsur dari kujang itu sendiri...
(rada nyanyahoanan, tapi bae lahh da sarua di ajar keneh brayy !!!)
okehh cekiprott sajalahh...
Kujang adalah salah satu senjata khas
dari daerah Jawa Barat, tepatnya di Pasundan (tatar Sunda). bentuk
senjata ini cukup unik, dari segi desainnya tak ada yang menyamai
senjata ini di daerah manapun, senjata ini di Jawa Barat. Tidak adanya
kata yang tepat untuk menyebutkan nama senjata ini ke dalam bahasa
International, sehingga Kujang dianggap sama pengertiannya dengan
“sickle” (= arit / sabit), tentu ini sangat menyimpang jauh karena dari
segi wujudnya pun berbeda dengan arit atau sabit. Tidak sama juga
dengan “scimitar” yang bentuknya cembung. Dan di Indonesia sendiri arit
atau sabit sebetulnya disebut “chelurit” (celurit). Mungkin untuk
merespon kendala bahasa tersebut, tugas dan kewajiban budayawan sunda,
dan media cetak lokal di tatarsunda yang harus lebih intensif
mempublikasikannya senjata Kujang ini ke dunia International.
Asal muasal istilah Kujang berasal dari kata "Kudihyang" dengan akar kata "Kudi" dan "Hyang". "Kudi" diambil dari bahasa Sunda Kuno yang memilii pengertian senjata yang mempunyai kekuatan gaib sakti, sebagai jimat, sebagai penolak bala, misalnya untuk menghalau musuh atau menghindari bahaya/penyakit. Senjata ini juga disimpan benda pusaka, yang digunakan untuk melindungi rumah dari bahaya dengan meletakkannya di dalam sebuah peti atau tempat tertentu di dalam rumah atau dengan meletakkannya di atas tempat tidur (Hazeu, 1904 : 405-406) Sedangkan "Hyang" dapat disejajarkan dengan pengertian Dewa dalam beberapa mitologi, namun bagi masyarakat Sunda Hyang mempunyai arti dan kedudukan di atas Dewa, hal ini tercermin di dalam ajaran “Dasa Prebakti” yang tercermin dalam naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian disebutkan “Dewa bakti di Hyang”. Secara umum, Kujang mempunyai pengertian sebagai pusaka yang mempunyai kekuatan tertentu yang berasal dari para dewa (=Hyang), dan sebagai sebuah senjata, sejak dahulu hingga saat ini Kujang menempati satu posisi yang sangat khusus di kalangan masyarakat Jawa Barat (Sunda). Sebagai lambang atau simbol dengan niali-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya, Kujang dipakai sebagai salah satu estetika dalam beberapa lambang organisasi serta pemerintahan.
BAGIAN BAGIAN KUJANG
- Papatuk (Congo); bagian ujung kujang yang runcing, gunanya untuk menoreh atau mencungkil.
- Eluk (Siih); lekukan-lekukan atau gerigi pada bagian punggung kujang sebelah atas, gunanya untuk mencabik-cabik perut musuh.
- Waruga; nama bilahan (badan) kujang.
- Mata; lubang-lubang kecil yang terdapat pada bilahan kujang yang pada awalnya lubang- lubang itu tertutupi logam (biasanya emas atau perak) atau juga batu permata. Tetapi kebanyakan yang ditemukan hanya sisasnya berupa lubang lubang kecil. Gunanya sebagai lambang tahap status si pemakainya, paling banyak 9 mata dan paling sedikit 1 mata, malah ada pula kujang tak bermata, disebut “Kujang Buta”.
- Pamor; garis-garis atau bintik-bintik pada badan kujang disebut Sulangkar atau Tutul, biasanya mengandung racun, gunanya selain untuk memperindah bilah kujangnya juga untukmematikan musuh secara cepat.
- Tonggong; sisi yg tajam di bagian punggung kujang, bisa untuk mengerat juga mengiris.
- Beuteung; sisi yang tajam di bagian perut kujang, gunanya sama dengan bagian punggungnya.
- Tadah; lengkung kecil pada bagian bawah perut kujang, gunanya untuk menangkis dan melintir senjata musuh agar terpental dari genggaman.
- Paksi; bagian ekor kujang yang lancip untuk dimasukkan ke dalam gagang kujang.
- Combong; lubang pada gagang kujang, untuk mewadahi paksi (ekor kujang).
- Selut; ring pada ujung atas gagang kujang, gunanya untuk memperkokoh cengkeraman gagang kujang pada ekor (paksi).
- Ganja (landéan); nama khas gagang (tangkai) kujang.
- Kowak (Kopak); nama khas sarung kujang.
Di antara bagian-bagian kujang
tadi, ada satu bagian yang memiliki lambang “ke-Mandalaan”, yakni mata
yang berjumlah 9 buah. Jumlah ini disesuaikan dengan banyaknya tahap
Mandala Agama Sunda Pajajaran yang juga berjumlah 9 tahap, di antaranya
(urutan dari bawah): Mandala Kasungka, mandala Parmana, Mandala Karna,
Mandala Rasa, Mandala Séba, Mandala Suda, Jati Mandala, Mandala Samar,
Mandala Agung. Mandala tempat siksaan bagi arwah manusia yang ketika
hidupnya bersimbah noda dan dosa, disebutnya Buana Karma atau Jagat
Pancaka, yaitu Neraka.
SEJARAH PERKEMBANGAN KUJANG
Kujang sangat identik dengan Sunda
Pajajaran masa silam. Sebab, alat ini berupa salah sastu aspek
identitas eksistensi budaya Sunda kala itu. Namun, dari telusuran kisah
keberadaannya tadi, sampai sekarang belum ditemukan sumber sejarah
yang mampu memberitakan secara jelas dan rinci. Satu-satunya sumber
berita yang dapat dijadikan pegangan (sementara) yaitu lakon-lakon
pantun. Sebab dalam lakon-lakon pantun itulah kujang banyak
disebut-sebut. Di antara kisah-kisah pantun yang terhitung masih
lengkap memberitakan kujang, yaitu pantun (khas) Bogor sumber Gunung
Kendeng sebaran Aki Uyut Baju Rambeng. Pantun Bogor ini sampai akhir
abad ke-19 hanya dikenal oleh warga masyarakat Bogor marginal
(pinggiran), yaitu masyarakat pedesaan. Mulai dikenalnya oleh kalangan
intelektual, setelahnya tahun 1906 C.M. Pleyte (seorang Belanda yang
besar perhatiannya kepada sejarah Pajajaran) melahirkan buku berjudul
Moending Laja Di Koesoemah, berupa catatan pribadinya hasil mendengar
langsung dari tuturan juru pantun di daerah Bogor sebelah Barat dan
sekitarnya. Pemberitaan tentang kujang selalu terselip hampir dalam
setiap lakon dan setiap episode kisah serial Pantun Bogor, baik fungsi,
jenis, dan bentuk, para figur pemakainya sampai kepada bagaimana cara
menggunakannya. Malah ungkapan-ungkapan konotatif yang memakai
kujang-pun tidak sedikit. Contoh kalimat gambaran dua orang berwajah
kembar; “Badis pinang nu munggaran, rua kujang sapaneupaan” atau
melukiskan seorang wanita; “Mayang lenjang badis kujang, tembong pamor
tembong eluk tembong combong di ganjana” dsb. Demikian pula bendera
Pajajaran yang berwarna “hitam putih” juga diberitakan bersulamkan
gambar kujang “Umbul-umbul Pajajaran hideung sawaréh bodas sawaréh
disulaman kujang jeung pakujajar nu lalayanan”.
Di masa lalu Kujang tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan masyarakat Sunda karena fungsinya sebagai
peralatan pertanian. Pernyataan ini tertera dalam naskah kuno Sanghyang
Siksa Kanda Ng Karesian (1518 M) maupun tradisi lisan yang berkembang
di beberapa daerah diantaranya di daerah Rancah, Ciamis. Bukti yang
memperkuat pernyataan bahwa kujang sebagai peralatan berladang masih
dapat kita saksikan hingga saat ini pada masyarakat Baduy, Banten dan
Pancer Pangawinan di Sukabumi.
Dengan perkembangan kemajuan,
teknologi, budaya, sosial dan ekonomi masyarakat Sunda, Kujang pun
mengalami perkembangan dan pergeseran bentuk, fungsi dan makna. Dari
sebuah peralatan pertanian, kujang berkembang menjadi sebuah benda yang
memiliki karakter tersendiri dan cenderung menjadi senjata yang
bernilai simbolik dan sakral. Wujud baru kujang tersebut seperti yang
kita kenal saat ini diperkirakan lahir antara abad 9 sampai abad 12.
Sejak sirnanya Kerajaan Pajajaran
sampai sekarang, kujang masih banyak dimiliki oleh masyarakat Sunda,
yang fungsinya hanya sebagai benda obsolete tergolong benda sejarah
sebagai wahana nostalgia dan kesetiaan kepada keberadaan leluhur Sunda
pada masa jayanya Pajajaran, di samping yang tersimpan di
museum-museum.
Pengabadian kujang lainnya, banyak
yang menggunakan gambar bentuk kujang pada lambang-lambang daerah, pada
badge badge organisasi kemasyarakatan atau ada pula kujang-kujang
tempaan baru (tiruan), sebagai benda aksesori atau cenderamata.
Selain keberadaan kujang seperti itu,
di kawasan Jawa Barat dan Banten masih ada komunitas yang masih akrab
dengan kujang dalam pranata hidupnya sehari-hari, yaitu masyarakat
Sunda “Pancer Pangawinan” (tersebar di wilayah Kecamatan Bayah
Kabupaten Lebak – Provinsi Banten, Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor
dan di Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi – Provinsi Jawa Barat). Dan
masyarakat “Sunda Wiwitan Urang Kanékés” (Baduy) di Kabupaten Lebak –
Provinsi Banten. Dalam lingkungan budaya hidup mereka, tiap setahun
sekali kujang selalu digunakan pada upacara “Nyacar” (menebangi
pepohonan untuk lahan ladang). Patokan pelaksanaannya yaitu terpatri
dalam ungkapan “Unggah Kidang Turun Kujang”, artinya jika bintang
Kidang telah muncul di ufuk Timur di kala subuh, pertanda musim
“Nyacar” sudah tiba, kujang (Kujang Pamangkas) masanya digunakan
sebagai pembuka kegiatan “Ngahuma” (berladang).
BENTUK DAN JENIS KUJANG SERTA FUNGSINYA
Pada zaman masih jayanya kerajaan Pajajaran, kujang terdiri dari beberapa bentuk, di antaranya:
- Kujang Ciung; yaitu kujang yang bentuknya dianggap menyerupai burung Ciung.
- Kujang Jago; kujang yang bentuknya menyerupai ayam jago.
- Kujang Kuntul; kujang yang menyerupai burung Kuntul.
- Kujang Bangkong; kujang yang menyerupai bangkong (kodok).
- Kujang Naga; kujang yang bentuknya menyerupai naga.
- Kujang wayang
- Kujang Badak; kujang berbadan lebar dianggap seperti badak.
- Kudi; perkakas sejenis kujang.
- Kujang Pusaka; yaitu kujang sebagai lambang keagungan seorang raja atau pejabat kerajaan lainnya dengan kadar kesakralannya sangat tingi seraya memiliki tuah dan daya gaib tinggi.
- Kujang Pakarang; yaitu kujang untuk digunakan sebagai alat berperang dikala diserang musuh.
- Kujang Pangarak; yaitu kujang bertangkai panjang seperti tombak sebagai alat upacara.
- Kujang Pamangkas; kujang sebagai alat pertanian (perladangan).
KELOMPOK PEMAKAI KUJANG
Meskipun perkakas kujang identik
dengan keberadaan Kerajaan Pajajaran pada masa silam, namun berita
Pantun Bogor tidak menjelaskan bahwa alat itu dipakai oleh seluruh
warga masyarakat secara umum. Perkakas ini hanya digunakan oleh
kelompok tertentu, yaitu para raja, prabu anom (putera mahkota),
golongan pangiwa, golongan panengen, golongan agama, para puteri serta
kaum wanita tertentu, para kokolot. Sedangkan rakyat biasa hanya
menggunakan perkakas-perkakas lain seperti golok, congkrang, sunduk,
dsb. Kalaupun di antaranya ada yang menggunakan kujang, hanya sebatas
kujang pamangkas dalam kaitan keperluan berladang.
Setiap menak (bangsawan), para
pangagung (pejabat negara) sampai para kokolot, dalam pemilikan kujang,
tidak sembarangan memilih bentuk. Namun, hal itu ditentukan oleh
status sosialnya masing-masing. Bentuk kujang untuk para raja tidak
boleh sama dengan milik balapati. Demikian pula, kujang milik balapati
mesti berbeda dengan kujang miliknya barisan pratulup, dan seterusnya.
- Kujang Ciung mata-9: hanya dipakai khusus oleh Raja;
- Kujang Ciung mata-7: dipakai oleh Mantri Dangka dan Prabu Anom;
- Kujang Ciung mata-5: dipakai oleh Girang Seurat, Bupati Pamingkis,dan para Bupati Pakuan;
- Kujang Jago: dipakai oleh Balapati, para Lulugu, dan Sambilan;
- Kujang Kuntul: dipakai oleh para Patih (Patih Puri, Patih Taman, Patih Tangtu Patih Jaba, dan Patih Palaju), juga digunakan oleh para Mantri (Mantri Majeuti, Mantri Paséban, Mantri Layar, Mantri Karang, dan Mantri Jero).
- Kujang Bangkong: dipakai oleh Guru Sekar, Guru Tangtu, Guru Alas, Guru Cucuk;
- Kujang Naga: dipakai oleh para Kanduru, para Jaro, Jaro Awara, Tangtu, Jaro Gambangan;
- Kujang Badak: dipakai oleh para Pangwereg, para Pamatang, para Palongok, para Palayang, para Pangwelah, para Bareusan, parajurit, Paratulup, Sarawarsa, para Kokolot.
Selain diperuntukkan bagi para
pejabat tadi, kujang digunakan pula oleh kelompok agama, tetapi
kesemuanya hanya satu bentuk yaitu Kujang Ciung, yang perbedaan
tahapannya ditentukan oleh banyaknya “mata”. Kujang Ciung bagi
peruntukan Brahmesta (pendeta agung negara) yaitu yang bermata-9, sama
dengan peruntukan raja. Kujang Ciung bagi para Pandita bermata-7, para
Geurang Puun, Kujang Ciung bermata-5, para Puun Kujang Ciung bermata-3,
para Guru Tangtu Agama dan para Pangwereg Agama Kujang Ciung
bermata-1.
Di samping masing-masing memiliki
kujang tadi, golongan agama menyimpan pula Kujang Pangarak, yaitu
kujang yang bertangkai panjang yang gunanya khusus untuk
upacara-upacara sakral seperti Upacara Bakti Arakana, Upacara Kuwera
Bakti, dsb., malah kalau dalam keadaan darurat, bisa saja dipakai untuk
menusuk atau melempar musuh dari jarak jauh. Tapi fungsi utama seluruh
kujang yang dimiliki oleh golongan agama, sebagai pusaka pengayom
kesentosaan seluruh isi negara.
Kelompok lain yang juga mempunyai
kewenangan memakai kujang yaitu para wanita Menak (Bangsawan) Pakuan
dan golongan kaum wanita yang memiliki fungsi tertentu, seperti para
Puteri Raja, para Puteri Kabupatian, para Ambu Sukla, Guru Sukla, para
Ambu Geurang, para Guru Aés, dan para Sukla Mayang (Dayang Kaputrén).
Kujang bagi kaum wanita ini, biasanya hanya terdiri dari Kujang Ciung
dan Kujang Kuntul. Hal ini karena bentuknya yang langsing, tidak
terlalu “galabag” (berbadan lebar”, dan ukurannya biasanya lebih kecil
dari ukuran kujang kaum pria.
Untuk membedakan status
pemiliknya, kujang untuk kaum wanita pun sama dengan untuk kaum pria,
yaitu ditentukan oleh banyaknya mata, pamor, dan bahan yang dibuatnya.
Kujang untuk para puteri kalangan menak Pakuan biasanya kujang
bermata-5, Pamor Sulangkar, dan bahannya dari besi kuning pilihan.
Sedangkan (kujang) wanita fungsi lainnya kujang bermata-3 ke bawah
malah sampai Kujang Buta, Pamor Tutul, bahannya besi baja pilihan.
Kaum wanita Pajajaran yang bukan menak
tadi, di samping menggunakan kujang ada pula yang memakai perkakas
“khas wanita” lainnya, yaitu yang disebut Kudi, alat ini kedua sisinya
berbentuk sama, seperti tidak ada bagian perut dan punggung, juga kedua
sisinya bergerigi seperti pada kujang, ukurannya rata-rata sama dengan
ukuran “Kujang Bikang” (kujang pegangan kaum wanita), langsing,
panjang kira-kira 1 jengkal termasuk tangkainya, bahannya semua
besi-baja, lebih halus, dan tidak ada yang memamai mata.
PROSES PEMBUATAN KUJANG
Pada zamannya Kerajaan Pajajaran Sunda
masih jaya, setiap proses pembuatan benda-benda tajam dari logam
termasuk pembuatan senjata kujang, ada patokan-patokan tertentu yang
harus dipatuhi, di antaranya:
1. Patokan Waktu
Mulainya mengerjakan penempaan kujang
dan benda-benda tajam lainnya, ditandai oleh munculnya Bintang Kerti,
hal ini terpatri dalam ungkapan “Unggah kidang turun kujang, nyuhun
kerti turun beusi”, artinya ‘Bintang Kidang mulai naik di ufuk Timur
waktu subuh, pertanda masanya kujang digunakan untuk “nyacar” (mulai
berladang). Demikian pula jika Bintang Kerti ada pada posisi sejajar di
atas kepala menyamping agak ke Utara waktu subuh, pertanda mulainya
mengerjakan penempaan benda-benda tajam dari logam (besi-baja)’.
Patokan waktu seperti ini, kini masih berlaku di lingkungan masyarakat
“Urang Kanékés” (Baduy).
2. Kesucian “Guru Teupa” (Pembuat Kujang)
Seorang Guru Teupa (Penempa Kujang),
waktu mengerjakan pembuatan kujang mesti dalam keadaan suci, melalui
yang disebut “olah tapa” (berpuasa). Tanpa syarat demikian, tak mungkin
bisa menghasilkan kujang yang bermutu. Terutama sekali dalam pembuatan
Kujang Pusaka atau kujang bertuah. Di samping Guru Teupa mesti
memiliki daya estetika dan artistika tinggi, ia mesti pula memiliki
ilmu kesaktian sebagai wahana keterampilan dalam membentuk bilah kujang
yang sempurna seraya mampu menentukan “Gaib Sakti” sebagai tuahnya.
3. Bahan Pembuatan Kujang
Untuk membuat perkakas kujang dibutuhkan bahan terdiri dari logam dan bahan lain sebagai pelengkapnya, seperti:
- Besi, besi kuning, baja, perak, atau emas sebagai bahan membuat waruga (badan kujang) dan untuk selut (ring tangkai kujang).
- Akar kayu, biasanya akar kayu Garu-Tanduk, untuk membuat ganja atau landean (tangkai kujang). Akar kayu ini memiliki aroma tertentu.
- Papan, biasanya papan kayu Samida untuk pembuatan kowak atau kopak (sarung kujang). Kayu ini pun memiliki aroma khusus.
- Emas, perak untuk pembuatan “mata” atau “pamor” kujang pusaka ataukujang para menak Pakuan dan para Pangagung tertentu. Selain itu, khusus untuk “mata” banyak pula yang dibuat dari batu permata yang indah-indah.
- Peurah” (bisa binatang) biasanya “bisa Ular Tiru”, “bisa Ular Tanah”, “Bisa Ular Gibug”, ”bisa Kelabang” atau “bisa Kalajengking”. Selain itu digunakan pula racun tumbuh-tumbuhan seperti ”getah akar Leteng” “getah Caruluk” (buah Enau) atau “serbuk daun Rarawea”, dsb. Gunanya untuk ramuan pelengkap pembuatan “Pamor”. Kujang yang berpamor dari ramuan racun-racun tadi, bisa mematikan musuh meski hanya tergores.
- Tuah “Gaib Sakti” sebagai isi, sehingga kujang memiliki tuah tertentu. Gaib ini terdiri dari yang bersifat baik dan yang bersifat jahat, bisa terdiri dari gaib Harimau, gaib Ulat, gaib Ular, gaib Siluman, dsb. Biasanya gaib seperti ini diperuntukan bagi isi kujang yang pamornya memakai ramuan racun sebagai penghancur lawan. Sedangkan untuk Kujang Pusaka, gaib sakti yang dijadikan isi biasanya para arwah leluhur atau para “Guriyang” yang memiliki sifat baik, bijak, dan bajik.
Tempat untuk membuat benda-benda tajam
dari bahan logam besi-baja, baik kudi, golok, sunduk, pisau, dsb.
Dikenal dengan sebutan Gosali, Kawesen, atau Panday. Tempat khusus
untuk membuat (menempa) perkakas kujang disebut Paneupaan.
Membawa perkakas kujang tidak hanya satu cara, namun tergantung kepada bentuk dan ukuran besar kecilnya dan kadar kesakralannya.
Tersebar berita, bahwa cara menggunakan kujang konon dengan cara dijepit ekornya (paksi-nya) yang telanjang tanpa “ganja” (tangkai) menggunakan ibu jari kaki. Sedangkan cara lain, yaitu dengan dijepit menggunakan telunjuk dan ibu jari kemudian ditusuk-tusukan ke badan lawan. Alasan mengapa cara menggunakannya demikian, sebab katanya kujang memang berupa senjata “telanjang” tanpa tangkai dan tanpa sarung (kowak).
Jika para Guru Teupa penempa Kujang Pajajaran sengaja membuatnya demikian, hal itu merupakan pekerjaan tanpa perhitungan. Sebab dilihat dari bentuk ekor (paksi) kujang yang banyak ditemukan, bentuknya sama seperti ekor senjata tajam lainnya yang lazim memakai gagang (tangkai) seperti golok, arit, pisau, dsb. Dengan cara menggunakannya seperti diutarakan tadi, sedikitnya ia akan terluka jari jemari kakinya ataupun jari jemari tangannya. Lain halnya jika bentuk ekornya tadi dibuat sedemikian rupa sehingga mudah untuk dijepit dengan jari jemarinya.
CARA MEMBAWA KUJANG
Membawa perkakas kujang tidak hanya satu cara, namun tergantung kepada bentuk dan ukuran besar kecilnya dan kadar kesakralannya.
- Disoren; yaitu digantungkan pada pinggang sebelah kiri dengan menggunakan sabuk atau tali pengikat yang diikatkan ke pinggang. Yang dibawa dengan cara disoren ini, Kujang Galabag (berbadan lebar) seperti Kujang Naga dan Kujang Badak sebab kowaknya (sarungnya) cukup lebar.
- Ditogel; yaitu dengan cara diselipkan pada sabukdi depan perut tanpa menggunakan tali pengikat. Kujang yang dibawa dengan cara ini yaitu Kujang Bangking (kujang berbadan kecil) seperti Kujang Ciung, Kujang Kuntul, Kujang Bangkong, Kujang Jago, Kudi yang ukuran kowaknya pun lebih kecil. Demikian pula kujang yang termasuk “Kujang Ageman” (bertuah) selalu dibawa dengan cara ditogel.
- Dipundak; yaitu dengan cara dipikul tangkainya yang panjang, seperti membawa tombak. Yang dibawa dengan cara demikian hanya khusus Kujang Pangarak, karena memiliki tangkai panjang.
-
Dijinjing; yaitu dengan cara ditenteng, dipegang tangkainya. Kujang yang dibawa dengan cara
ini hanya Kujang pamangkas, sebab kujang ini tidak memakai sarung (kowak) alias telanjang.
CARA MENGGUNAKAN KUJANG
Tersebar berita, bahwa cara menggunakan kujang konon dengan cara dijepit ekornya (paksi-nya) yang telanjang tanpa “ganja” (tangkai) menggunakan ibu jari kaki. Sedangkan cara lain, yaitu dengan dijepit menggunakan telunjuk dan ibu jari kemudian ditusuk-tusukan ke badan lawan. Alasan mengapa cara menggunakannya demikian, sebab katanya kujang memang berupa senjata “telanjang” tanpa tangkai dan tanpa sarung (kowak).
Jika para Guru Teupa penempa Kujang Pajajaran sengaja membuatnya demikian, hal itu merupakan pekerjaan tanpa perhitungan. Sebab dilihat dari bentuk ekor (paksi) kujang yang banyak ditemukan, bentuknya sama seperti ekor senjata tajam lainnya yang lazim memakai gagang (tangkai) seperti golok, arit, pisau, dsb. Dengan cara menggunakannya seperti diutarakan tadi, sedikitnya ia akan terluka jari jemari kakinya ataupun jari jemari tangannya. Lain halnya jika bentuk ekornya tadi dibuat sedemikian rupa sehingga mudah untuk dijepit dengan jari jemarinya.
KESIMPULAN
- Kujang adalah salah satu senjata khas dari daerah Jawa Barat, tepatnya di Pasundan (tatar Sunda) sangat identik dengan Sunda Pajajaran masa silam.
- Dalam masa perkembangan awal kujang berfungsi sebagai alat pertanian, perkembangan selanjutnya kujang cenderung menjadi senjata yang bernilai simbolik dan sakral, yang hanya digunakan pada golongan bangsawan kerajaan saja.
- Setiap menak (bangsawan), para pangagung (pejabat negara) sampai para kokolot, dalam pemilikan kujang, tidak sembarangan memilih bentuk. Namun, hal itu ditentukan oleh status sosialnya masing-masing.
- Dalam proses pembuatan Kujang ada etika etika di perhatikan menyangkut waktu, kesucian guru, dan bahan bahan khususyang di gunakan.
- Terdapat tata cara dalam membawa dan menggunakan kujang.
- Dewasa ini kujang di gunakan sebagai koleksi, hiasan, simbol simbol organisasi dan pemerintahan Jawa Barat, juga monumen seperti Tugu Kujang di Bogor sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur.
SUMBER :
Nandang. 2004. Senjata Tradisional Jawa Barat. Bandung: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional
Bandung.Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1998.
Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
R. Satjadibrata. 1954. Kamus Basa Sunda. Citakan ka-2. Djakarta: Perpustakaan Perguruan Kementerian P.P dan K.
Edi S Ekadjati (ed). 2000. Ensiklopedi Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya
Kamus Umum Basa Sunda. 1975. Bandung: Ternate.
(source: http://www.kaskus.us/showthread.php?t=10318687)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar